Pages

Kamis, 09 Mei 2013

Perekonomian Indonesia Tugas 1


1. SISTEM PENDIDIKAN DI INDONESIA TERHADAP TINGGINYA JUMLAH PENGANGGURAN
PROBLEMATIKA DUNIA PENDIDIKAN DAN MENINGKATNYA ANGKA PENGANGGURAN
ABSTRAK :
Pendidikan yang berkualitas bukanlah pendidikan yang ditinjau dari segi finansial, karna sekolah mahal belum tentu menjamin sekolah itu berkualitas, sekolah berkualitas atau tidak itu bisa dinilai dari Sistem pendidikannya. Namun sayangnya sistem pendidikan yang bagus masih sulit untuk ditemukan, seperti sistem pendidikan  di Indonesia yang terbilang cukup kurang. Banyaknya jumlah universitas di Indonesia juga tak menjamin tingginya kualitas pendidikan di Indonesia. Jumlah pengangguran di Indonesia yang terus meningkat dari tahun ke tahun mengindikasikan kegagalan dunia pendidikan untuk mengemban peran dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Seiring dengan banyaknya lulusan sarjana yang turut memperpanjang daftar pengangguran. Lulusan sarjana yang diharapkan menjadi tonggak penerus bangsa yang mandiri namun hanya menjadi pengisi daftar nama pengangguran yang kian hari kian bertambah. “Pendidikan tanpa uang adalah niscaya, uang tanpa pendidikan tiada guna.” Petikan kalimat ini menyiratkan betapa pentingnya pendidikan serta uang
PENDAHULUAN :
Kondisi pendidikan di Indonesia ternyata masih jauh dari idealitas yang selama ini diharapkan. Pelaksanaan sistem pendidikan nasional sejauh ini masih banyak ditemukan masalah di mana-mana.

Bukan malah membaik, kondisi dunia pendidikan sekarang ini justru makin parah dengan berbagai potret buram yang sering menghiasi. Mulai dari akses pendidikan yang kurang merata, infrastruktur yang kurang memadai bahkan berkualitas rendah, serta kurikulum yang selalu berubah.

Tak perlu jauh berkaca. Pelaksanaan Ujian Nasional 2013 yang akhirnya terpaksa mengalami penundaan untuk beberapa wilayah di Indonesia dapat menjadi salah satu cermin tentang realitas sistem pendidikan di negeri ini.

Selain itu, ketersediaan infrastruktur pendidikan yang belum mantap pun menjadi satu alasan tersendiri untuk menyebut pendidikan di Indonesia masih carut marut. Hal itu ternyata menimbulkan pengaruh yang sangat kompleks terhadap semakin sulitnya pendidikan dikatakan berhasil dalam mencetak generasi bangsa unggul.
Fakta ironis yang pernah ditemui adalah masih banyak bangunan sekolah rusak di hampir seluruh wilayah Indonesia. Kasus ini dapat dijumpai di beberapa kota Surabaya, Surakarta, dan Jakarta.

Di Surabaya, sebuah bangunan Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Jalan Wonorejo IV/54, roboh. Peristiwa ini terjadi pada Minggu, 2 September 2012 dan menelan korban tiga pekerja, satu tewas, dua orang luka.

Kejadian serupa juga terjadi di SDN Pelemgadung, Surakarta, pada Sabtu, 6 Oktober 2012. Beruntung, tidak ada korban jiwa dalam peristiwa ini.

Untuk kasus di DKI Jakarta, setidaknya ditemukan beberapa kasus sekolah roboh, seperti SDN 02 Pagi Cijantung. Bangunan sekolah ini roboh karena tidak kuat menahan genteng yang baru seminggu dipasang.

Selain itu, ada kasus serupa yang terjadi di SDN 03 Rawamangun pada Selasa, 6 November 2012. Bahkan sebelumnya pada Selasa, 5 Juni 2012, bangunan SDN 20 Cipinang Besar Selatan juga ambruk.

Banyaknya kejadian ini semakin menguatkan dugaan adanya ketidakseriusan pemerintah untuk memajukan pendidikan. Belum lagi pada sektor lain, pendidikan seolah tidak menjadi perhatian utama pemerintah.

Selain bangunan, masih banyak sekolah di Indonesia belum memiliki fasilitas memadai, seperti tidak adanya perpustakaan. Padahal, sebuah lembaga pendidikan dapat dikatakan ideal salah satunya dengan menyediakan fasilitas perpustakaan.

Pendidikan tak pernah lepas dari uang. Agaknya masalah ekonomi menjadi ujung tombak permasalahan pendidikan yang sebenarnya. Apalagi bila berada pada tataran perguruan tinggi. Fakta di lapangan pun menunjukkan bahwa banyaknya pelajar yang tidak melanjutkan ke jenjang perguruan tingi akibat dari benturan kondisi ekonomi yang kian tak tertangani. Lain halnya dengan sekolah menengah pertama yang memang mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah sehingga mendapatkan bantuan berupa dana BOS (Biaya Operasional Sekolah). Selain itu, sulitnya membangun akses ketika memasuki dunia kampus, sehingga para pelajar cenderung minder bila harus bersaing dengan para pelajar yang notabene anak para pejabat ataupun konglomerat. 
Uang memang penting, namun jaringan atau akses tak kalah penting. Masalah utama pendidikan di Indonesia adalah akses. Masyarakat Indonesia yang mayoritas berada pada tataran ekonomi menengah ke bawah, cenderung takut untuk memasuki dunia perguruan tinggi yang mayoritas hedonis, dengan biaya yang mahal serta saingan yang tak sedikit. Bahkan tak jarang rasa malu selalu menyelimuti diri para pelajar untuk berkumpul dengan para pesaingnya meski pada kenyatannya gaya hidup yang hedonis justru mematikan kreativitas dan cenderung merusak moral kaum muda. 
Selain itu, ekonomi menjadi masalah utama yang tak pernah lepas dari pendidikan. Meski berbagai program yang pemerintah untuk megatasi hal ini telah dijalankan namun pada kenyataannya pogram ini tak sepenuhnya berhasil karena mentalitas para pelajar yang tak memiliki cukup uang untuk mengeyam pendidikan cenderung lemah, bahkan sering kali menyerah sebelum bertanding.
Meski pemerintah telah mengusahakan peningkatan anggaran pendidikan, namun program ini belum dapat dimaksimalkan. 20 persen anggaran pendidikan diharapkan dapat merealisasikan pendidikan secara merata. Meski dana yang dialokasikan untuk pendidikan telah mengalami banyak peningkatan, namun belum cukup untuk dapat membawa semua lapisan masyarakat untuk mengenyam pendidikan sehingga semua orang dapat merasakan indahnya duduk di bangku pendidikan.
ini adalah isi dari Pidato Kelulusan Pelajar SMA yang menggetarkan dan menggugat kesadaran kita atas makna sistem pendidikan, pidato ini diucapkan oleh Erica Goldson, pelajar di Coxsackie-Athens High School, New York, tahun 2010.

Pidato Kelulusan Pelajar SMA yang menggetarkan dan menggugat kesadaran kita atas makna sistem pendidikan, pidato ini diucapkan oleh Erica Goldson, pelajar di Coxsackie-Athens High School, New York, tahun 2010.
“Saya lulus. Seharusnya saya menganggapnya sebagai sebuah pengalaman yang menyenangkan, terutama karena saya adalah lulusan terbaik di kelas saya. Namun, setelah direnungkan, saya tidak bisa mengatakan kalau saya memang lebih pintar dibandingkan dengan teman-teman saya. Yang bisa saya katakan adalah kalau saya memang adalah yang terbaik dalam melakukan apa yang diperintahkan kepada saya dan juga dalam hal mengikuti sistem yang ada.
Di sini saya berdiri, dan seharusnya bangga bahwa saya telah selesai mengikuti periode indoktrinasi ini. Saya akan pergi musim dingin ini dan menuju tahap berikut yang akan datang kepada saya, setelah mendapatkan sebuah dokumen kertas yang mensertifikasikan bahwa saya telah sanggup bekerja.
Tetapi saya adalah seorang manusia, seorang pemikir, pencari pengalaman hidup – bukan pekerja. Pekerja adalah orang yang terjebak dalam pengulangan, seorang budak di dalam sistem yang mengurung dirinya. Sekarang, saya telah berhasil menunjukkan kalau saya adalah budak terpintar. Saya melakukan apa yang disuruh kepadaku secara ekstrim baik. Di saat orang lain duduk melamun di kelas dan kemudian menjadi seniman yang hebat, saya duduk di dalam kelas rajin membuat catatan dan menjadi pengikut ujian yang terhebat.
Saat anak-anak lain masuk ke kelas lupa mengerjakan PR mereka karena asyik membaca hobi-hobi mereka, saya sendiri tidak pernah lalai mengerjakan PR saya. Saat yang lain menciptakan musik dan lirik, saya justru mengambil ekstra SKS, walaupun saya tidak membutuhkan itu. Jadi, saya penasaran, apakah benar saya ingin menjadi lulusan terbaik? Tentu, saya pantas menerimanya, saya telah bekerja keras untuk mendapatkannya, tetapi apa yang akan saya terima nantinya? Saat saya meninggalkan institusi pendidikan, akankah saya menjadi sukses atau saya akan tersesat dalam kehidupan saya?
Saya tidak tahu apa yang saya inginkan dalam hidup ini. Saya tidak memiliki hobi, karena semua mata pelajaran hanyalah sebuah pekerjaan untuk belajar, dan saya lulus dengan nilai terbaik di setiap subjek hanya demi untuk lulus, bukan untuk belajar. Dan jujur saja, sekarang saya mulai ketakutan…….”


LANDASAN TEORI :
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Pengangguran atau tuna karya adalah istilah untuk orang yang tidak bekerja sama sekali, sedang mencari kerja, bekerja kurang dari dua hari selama seminggu, atau seseorang yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan yang layak. Pengangguran umumnya disebabkan karena jumlah angkatan kerja atau para pencari kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang ada yang mampu menyerapnya. Pengangguran seringkali menjadi masalah dalam perekonomian karena dengan adanya pengangguran, produktivitas dan pendapatan masyarakat akan berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya. Tingkat pengangguran dapat dihitung dengan cara membandingkan jumlah pengangguran dengan jumlah angkatan kerja yang dinyatakan dalam persen. Ketiadaan pendapatan menyebabkan penganggur harus mengurangi pengeluaran konsumsinya yang menyebabkan menurunnya tingkat kemakmuran dan kesejahteraan. Pengangguran yang berkepanjangan juga dapat menimbulkan efek psikologis yang buruk terhadap penganggur dan keluarganya. Tingkat pengangguran yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan kekacauan politik keamanan dan sosial sehingga mengganggu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Akibat jangka panjang adalah menurunnya GNP dan pendapatan per kapita suatu negara. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, dikenal istilah "pengangguran terselubung" di mana pekerjaan yang semestinya bisa dilakukan dengan tenaga kerja sedikit, dilakukan oleh lebih banyak orang.
PEMBAHASAN :
1. Kilas Ujian Nasional
Ujian Nasional (UN) merupakan istilah bagi standar kompetensi peserta didik secara nasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Ujian nasional seakan tak pernah surut menuai konflik. Standar kompetensi nasional yang dicanangkan pemerintah seolah tak menuai hasil. Bukan karena tak berhasil, namun karena keberedaan Ujian Nasional yang dinilai tidak efektif serta tidak mempertimbangkan proses pendidikan.
Ujian nasional bahkan menjadi momok bagi para pelajar. Ujian nasional bagaikan hantu yang selalu menjadi bunga tidur para pelajar di akhir tahun masa pendidikan di bangku sekolah dasar serta menengah. Esensi ujian nasional pun  dipertanyakan, apakah ujian nasional memang memiliki nilai yang valid untuk dijadikan standarisasi secara nasional. Karena para pelajar cenderung berfokus pada ujian nasional dan memilih cara-cara praktis guna menyonsong ujian nasional yang gemilang dan tanpa beban.
Tak heran, bila para pelajar sekarang ini lebih mementingkan bagaimana mereka dapat menghadapi ujian meski harus berusaha mati-matian. Sehingga mengesampingkan esensi dari pembelajaran di hari-hari biasa. Sehingga tak dapat dipungkiri, para pelajar baru akan berjuang ketika menjelang ujian. Tak hanya itu, bahkan lembaga bimbingan belajar menjadi sarana penting bahkan menjadi kebutuhan primer guna menghadapi ujian nasional serta seleksi masuk perguruan tinggi. Cara instan dalam mengenyam pendidikan ini cenderung diminati para pelajar. Meski untuk dapat menikmati fasilitas bimbel ini, diperlukan biaya yang cukup besar. Semua pelajar sudah belajar dengan memanfaatkan jasa bimbel, lalu apa gunanya mengenyam pendidikan di bangku sekolah dengan harga yang mahal?
Meski kelulusan dipasrahkan pada pihak sekolah setelah berhasil melaksanakan ujian nasional dan dinyatakan lulus oleh pemerintah. Namun agaknya ujian ini menjadikan para guru tidak lagi seperti apa yang dijadikan pedoman “digugu lan ditiru.” Yang artinya setiap omongannya dijadikan acuan dan perilakunya dijadikan sebagai contoh.
Dunia pendidikan kini telah kehilangan eksistensinya di mata masayarakat. Para paradigma masyarakat saat ini hanya tercermin dari  ujian nasional. Pendidikan yang saat ini hanya dilihat melalui ujian nasional sehingga mengabaikan proses yang telah berjalan selama ini. Seakan ujian nasional adalah segala-galanya. Padahal ujian nasinal hanyalah standar minimal yang dicanangkan oleh pemerintah agar tercapainya standar kompetensi sebagaimana yang ditetapkan. 
Ujian nasional hanyalah upaya pemerintah guna menstandarkan kompetensi yang diraih sehingga dapat tercapai tujuan pendidikan yang sebenarnya. Namun bila ditilik lebih lanjut, ujian nasional tak lagi mengangkat nilai luhur pendidikan. Fenomena yang ada menunjukkan bahwa ujian nasional hanya dijadikan patokan kelulusan tanpa memperhatikan aspek proses pendidikan itu sendiri. Sehingga ujian nasional sering di pandang sebelah mata bagi sebagian masyarakat. Namun disisi lain, dengan adanya ujian nasional menjadikan sistem pendidikan yang ada di Indonesia menjadi terarah dan memiliki standar minimal yang data digunakan sebagai tolok ukur seberapa besar tingkat pendidikan di Indonesia.
Meski tak dapat dipungkiri dalam pelaksanaan ujian nasional sering kali terjadi kecurangan yang dilakukan oleh pelajar sendiri maupun melibatkan pihak lain. Tak hanya itu, bahkan isu-isu kebocoran soal pun tak dapat ditangguhkan lagi, dan memang benar adanya. Meski menteri pendidikan telah berargumen untuk tidak mempercayai akan adanya kebocoran soal, namun tak dapat disangkal lagi ketika jawaban telah beredar serta dapat dibuktikan keberadaannya. Sehingga pengamanan dalam ujian nasional perlu diperketat. Agar kecurangan-kecurangan demikian tidak terulang lagi.
2. Carut Marutnya Dunia Pendidikan
Berbicara mengenai pendidikan tentu tak lepas dari system pendidikan yang diterapkan. Indonesia dikenal dengan system pendidikannya yang cenderung untuk mempelajari banyak hal. Mulai dari jenjang sekolah dasar, dimana semua mata pelajaran yang bersifar dasar diberikan sebagai bekal serta untuk menanamkan nilai-nilai luhur pada pelajar sejak dini. Kemudian dilanjutkan dengan pendidikan menengah pertama untuk memperdalam ilmu untuk yang masih global yang kemudian dilanjutkan dengan pendidikan pada jenjang menengah atas yang dipersiapkan untuk mempelajari masing-masing cabang ilmu yang diminati dan pendidikan menengah kejuruan disiapkan bagi untuk dapa bekerja setelah lulus tanpa harus melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi.
Sistem pendidikan ini dirasa sangat bertele-tele. Pada kenyatannya memang para pelajarnya memiliki pengetahuan yang luas, namun cenderung mematikan keterampilan para pelajar karena kurang adanya spesifikasi pada bidang yang diminati. Belum lagi dengan persaingan kerja yang sangat ketat sehingga kurangnya bekal bagi para remaja karena minimnya keterampilan yang dimiliki.
Pergantian sistem pendidikan di Indonesia seakan bukan hal yang asing lagi. Demikian seringnya pemerintah mengganti system pendidikan di Indonesia seiring dengan bergantinya pemegang mandat di dunia pendidikan. Tak heran bila pergantian kurikulum ini menuai banyak polemic di kalangan para pelajar. Para pelajar seakan dijadikan kelinci percobaan terhadap kuruikulum baru yang belum tentu sesuai dengan kultur masyarakat setempat. Tak salah memang, bila ada pergantian dalam kurikulum dalam dunia pendidikan. Namun agaknya diimbangi dengan pertimbangan yang matang agar pendidikan dapat terselenggara dengan baik.
Berawal dari kurikulum 1994 yang dipegang teguh pemerintah pusat, lahirlah kurikulum baru dengan gelar KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi). Belum lama kurikulum ini diberlakukan, muncul lagi system pendidikan baru yaitu KTSP(Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Dimana guru berwenang menyusun silabus, bahan ajar, standar kompetensi , sistem penilaian dan sebagainya secara otonomi sekolah.
Dengan penerapan kurikulum KTSP ini, diharapkan para pelajar dapat proaktif. Pada saat kegiatan belajar mengajar berlangsung. Guru berfungsi sebagai motivator yang akan memandu serta mengarahkan jalannya kegiatan belajar mengajar. Para siswa yang terbiasa dengan kegiatan seperti ini berusaha sebisa mungkin untuk menyesuaikan agar tetap dapat mengikuti pembelajaran di kelas. Namun dengan adanya perubahan kurikulum banyak pula yang harus dibenahi. Mulai dari buku pegangan sehingga memakan banyak biaya. Pengadaan buku pegangan siswa dinilai sangat tidak efektif. Karena isi dari buku tersebut kurang lebih sama dengan buku dengan kurikulum sebelumnya.
Dengan diberlakukannya kurikulum KTSP, peran guru dinilai tidak maksimal. Karena guru hanya dijadikan motivator belaka. Guru yang seyogyanya dijadikan panutan tak lagi berfungsi maksimal, bahkan lebih banyak dikesampingkan dan cenderung tak memiliki peran.
Oleh karena itu memajukan pendidikan nasional harus diikuti dengan memperbaiki citra guru secara nasional pula. Selama citra guru tidak mendapat perbaikan dari pemerintah, upaya memajukan pendidikan nasional akan menjadi sebuah dilematis belaka.
Negara ini akan berkembang jika system pendidikan yang digunakan tidak dapat berjalan konsisten.  
3. Pendidikan Ideal
Dunia pendidikan perlu melakukan banyak perubahan.  Dibutuhkan inovasi baru agar kualitas pendidikan di Indonesia dapat meningkat. Bukan hanya dapat mencetak mutiara pengharum bangsa, namun juga membawa Indonesia untuk menjadi bangsa mandiri yang berprestasi.. Sistem pendidikan yang diberlakukan di Indonesia pun agaknya perlu dilakukan pembenahan. Mengingat masyarakat Indonesia yang beragam dari berbagai macam etnik dan suku sehingga kualitas pendidikan akan lebih maksimal.
artikel dilematika dunia pendidikan
4. Sikapi tingginya angka pengangguran sarjanah
Tingginya angka pengangguran yang didongkrak oleh kalangan sarjana memang sangat memprihatinkan. Tak pelak, sorotan miring pun ditujukan kepada dunia pendidikan, terutama perguruan tinggi, Ini karena dianggap telah gagal mencetak generasi emas bangsa yang mandiri, cerdas, kreatif dan kompetitif. tidak memungkiri bahwa tingginya pengangguran didongkrak oleh kalangan sarjana. Namun, bukan berarti perguruan tinggi sontak dianggap gagal dalam mencetak karakter bangsa. berupaya membangun paradigma baru dalam pola pikir dan sikap serta perilaku mahasiswa dari pencari kerja menjadi pencipta lapangan kerja. Dalam menekan tingginya penggangguran sarjana. Sehingga, para sarjana betul-betul berani tampil beda menjadi wirausahawan muda yang kreatif dan inovatif.
Memang mayoritas sarjana masih berorientasi menjadi pegawai baik negeri maupun swasta, dan tidak ada yang berani terjun sebagai wirausahawan. Maka itulah, perlu adanya pembenahan dunia pendidikan tinggi secara menyeluruh dengan membangun paradigma baru. Yakni mengubah pola pikir, sikap, dan perilaku sesuai tuntutan globalisasi kini.

5. Faktor yang mempengaruhi terjadinya pengangguran di Indonesia
Salah satu masalah yang cukup besar di Indonesia adalah masalah pengangguran, yang tidak pernah teratasi setiap tahunnya. Faktor pengangguran bisa beragam macamnya, dan ini tidak boleh di abaikan oleh pemerintah. Usaha mengatasi pengangguran bukanlah kewajiban pemerintah semata. Seluruh penduduk Indonesia di harapkan partisipasinya untuk mengatasi masalah ini. Tanpa kerjasama pemerintah dan masyarakat mustahil dapat mengatasi pengangguran di Indonesia. Berikut adalah beberapa penyebab pengangguran yang umum terjadi di Indonesia.
1.   Pendidikan rendah. Pendidikan yang rendah dpat menyebabkan seseorang kesulitan dalam mencari pekerjaan. Di karenakan semua perusahaan membutuhkan pegawai seminimal SMA.
2.   Kurangnya keterampilan. Banyak mahasiswa atau lulusan SMA yang sudah mempunyai kriteria dalam bekerja,namun dalam teknisnya keterampilannya masih kurang. Sehingga susah dalam mencari pekerjaan.
3.   Kurangnya lapangan pekerjaan. Setiap tahunnya, Indonesia memiliki jumlah lulusan sekolah atau kuliah yang begitu tinggi. Jumlah yang sangat besar ini tidak seimbang dengan lapangan pekerjaan yang ada, baik yang di sediakan oleh pemerintah maupun swasta.
4.   Kurangnya tingkat EQ masyarakat. Tingkat EQ meliputi kemampuan seseorang dalam mengandalikan emosi, yang berpengaruh terhadap keterampilan berbicara/berkomunikasi, bersosialisasi, kepercayaan diri, dan sifat lainnya yang mendukung dalam hidup di masyarakat. Orang yang pandai berkomunikasi dan pandai bersosialisasi lebih mudah mendapatkan pekerjaan di banding orang yang selalu pendiam dan tidak berani mengeksplor potensi diri.
5.   Rasa malas dan ketergantungan diri pada orang lain. Misalnya ada seorang lulusan sarjana yang kemudian tidak mau bekerja dan lebih suka menggantungkan hidup kepada orang tua atau pasangannya bila sudah menikah. Ia termasuk pengangguran, selain itu ia melewatkan peluang untuk menciptakan suatu lapangan pekerjaan bagi orang lain.
6.   Tidak mau berwirausaha. Umumnya sesorang yang baru lulus sekolah/kuliah terpaku dalam mencari pekerjaan, seolah itu adalah tujuan yang sangat mutlak. Sehingga persaingan mencari pekerjaan lebih besar di bandingkan membuat suatu usaha.
Itulah beberapa faktor pengangguran yang banyak terjadi di Indonesia. Cukup sulit untuk mengatasi pengangguran di Indonesia dengan tingkat jumlah penduduk yang begitu besar dan masih banyaknya korupsi di negeri ini, sehingga laju pengangguran semakin naik per tahunnya.
6. cara mengatasi pengagguran di Indonesia
Banyak upaya yang telah dilakukan pemerintah selama ini dalam mengurang jumlah pengangguran di Indonesia, namun masih saja pengangguran tidak berkurang bahkan lebih bertambah setiap tahunnya di karenakan tidak seimbangnya jumlah pencari kerja dan lapangan pekerjaan.
Menurut Paul A. Samuelson dan Wiliam D. Nurdhaous dalam bukunya Ekonomi mengemukakan cara-cara mengatasi pengangguran yaitu sebagai berikut:
1.   Memperbaiki pasar tenaga kerja
2.   Menyediakan program pelatihan
3.   Menciptakan program padat karya
Selain hal tersebut di atas, sesuai dengan GBHN 1999, pemerintah Indonesia hendaknya:
·         Mengembangkan tenaga kerja secara menyeluruh dan terpadu yang diarahkan pada peningkatan kompetensi dan kemandirian tenaga kerja peningkatan pengupahan, penjaminan kesejahteraan, perlindungan kerja dan kebebasab berserikat, dan
·         Meningkatkan kualitas dan kuantitas penempatan tenaga kerja ke luar negeri dengan memerhatikan kompetensi, perlindungan, dan pembelaan tenaga kerja yang di kelola secara terpadu dan mencegah timbulnya eksploitasi tenaga kerja.
Ada berbagai cara dalam mengatasi pengangguran,yaitu :
1.   Peningkatan Mobilitas Tenaga kerja dan Modal
2.   Penyediaan Informasi tentang Kebutuhan Tenaga Kerja
3.   Program Pendidikan dan Pelatihan Kerja
4.   Menggalakkan program transmigrasi
5.   Meningkatkan dan mendorong kewiraswastaan
6.   Mengintensifkan program keluarga berencana
7.   Menekan impor dan memperbanyak ekspor

Peningkatan Mobilitas Tenaga kerja dan Modal
Peningkatan mobilitas tenaga kerja dilakukan dengan memindahkan pekerja ke kesempatan kerja yang kosong dan melatih ulang keterampilannya sehingga dapat memenuhi tuntutan kualifikasi di tempat baru. Peningkatan mobilitas modal dilakukan dengan memindahkan industri (padat karya) ke wilayah yang mengalami masalah pengangguran parah. Cara ini baik digunakan untuk mengatasi msalah pengangguran struktural.

Penyediaan Informasi tentang Kebutuhan Tenaga Kerja
Untuk mengatasi pengangguran musiman, perlu adanya pemberian informasi yang cepat mengenai tempat-tempat mana yang sedang memerlukan tenaga kerja. Masalah pengangguran dapat muncul karena orang tidak tahu perusahaan apa saja yang membuka lowongan kerja, atau perusahaan seperti apa yang cocok dengan keterampilan yang dimiliki. Masalah tersebut adalah persoalan informasi. Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu diadakan sistem informasi yang memudahkan orang mencari pekerjaan yang cocok. Sistem seperti itu antara lain dapat berupa pengumuman lowongan kerja di kampus dan media massa. Bisa juga berupa pengenalan profil perusahaan di sekolah-sekolah kejuruan, kampus, dan balai latihan kerja.

Program Pendidikan dan Pelatihan Kerja
Meningkatkan program pendidikan dengan cara wajib belajar 12 tahun dan memberikan pendidikan gratis bagi warga yang kurang mampu, sehingga mengurangi pengangguran yang tidak terdidik. Memberikan pelatihan kerja untuk mencari kerja, sehingga menjadi pekerja yang terampil dan ahli. Perusahaan lebih menyukai calon pegawai yang sudah memiliki keterampilan atau keahlian tertentu. Masalah tersebut amat relevan di Negara kita, mengingat sejumlah besar penganggur adalah orang yang belum memiliki keterampilan atau keahlian tertentu.

Menggalakkan program transmigrasi
Program transmigrasi bukan saja merupakan cara efektif meratakan pembangunan dan jumlah penduduk, tetapi juga merupakan cara mengatasi pengangguran yang tepat. Yaitu tidak semua berbondong – bondong mencari pekerjaan di ibukota yang dapat memadatkan ibu kota. Oleh karena itu, transmigrasi adalah solusi terbaik untuk mengatasi pnegangguran juga dengan memberikan pelatihan dan pemberian modal untuk membuka usaha di wilyah transmigrasi sehingga dapat membuka lapangan pekerjaan.

Meningkatkan dan mendorong kewiraswastaan
Meningkatkan jumlah wiraswasta dengan adanya UKM dengan pemberian modal yang di berikan oleh pemerintah dan kerjasama dengan pihak swasta. Menumbuhkan jiwa wirausaha sejak sekolah sehingga merubah paradigma dari mencari pekerjaan menjadi memberi pekerjaan. Hal ini yang mesti di dukung oleh pemerintah. Mendukung kegiatan wirausaha sekecil apapun skala usaha tersebut dan memberikan pelatihan – pelatihan wirausaha hingga memberikan pinjaman – pinjaman tanpa anggunan dan tanpa bunga bagi perintis usaha ( masih pemula ). Wirausaha bukan saja mengatasi pengangguran di tanah air tetapi juga bentuk usaha untuk meningkatkan perekonomian Indonesia.

Mengintensifkan program keluarga berencana
Seperti yang telah kita ketahui, Indonesia merupakan salah satu negara dengan populasi penduduk terbanyak di dunia. Jadi apabila masalah keluarga berencana ini tidak dijalankan secara efektif, dapat dipastikan pengangguran di Indonesia akan semakin bertambah. Pemerintah harus berusaha untuk menekan laju pertumbuhan penduduk dan mengawasi program ini dengan sebaik baiknya agar program ini berjalan dengan sangat baik. Karena masih belum terlihat keberhasilan dari program KB.

Menekan impor dan memperbanyak ekspor
Pemerintah harus menekan impor sebanyak mungkin dan memajukan produk – produk dalam negeri yang di hasilkan dari petani dan para wirausaha. Sehingga para usahawan tidak kesulitan dalam mencari pasar dalam menjual usahanya. Dan berusaha untuk mengekspor produk dalam negeri yang laku  dalam pasaran luar negeri yang dapat menghasilkan devisa negara. Sehingga para pengangguran yang berusaha untuk mengembangkan bisnis usahanya tidak kesulitan mencari pasar untuk menjual hasil dari usahanya.

KESIMPULAN :
Dapat disimpulkan dari informasi di atas bahwa problematika pendidikan yang terjadi selama ini harus cepat di perbaiki agar tidak lagi muncul masalah-masalah baru yang akan dapat menimbulkan sistem pendidikan yang semakin parah. dan agar angka pengangguran tidak semakin menaik setiap tahunnya di perlukan beberapa cara untuk mengatasinya yaitu para sarjanah harus memiliki sifat mandiri, cerdas, kreatif, dan kompetitif, dan berupaya membangun paradigma baru dalam pola pikir dan sikap serta perilaku mahasiswa dari pencari kerja menjadi pencipta lapangan kerja. Sehingga, para sarjana betul-betul berani tampil beda menjadi wirausahawan muda yang kreatif dan inovatif.
Dan strategi pemerintah dalam menangani kasus ini adalah dengan cara Tanamkan jiwa belajar dan membaca kepada para sarjana untuk merubah pola pikir (mindset) mereka terhadap pekerjaan atau pemenuhan kebutuhan hidup, dan Menggiatkan penyuluhan kepada para sarjana atau para intelektual untuk lebih berorientasi menciptakan pekerjaan ketimbang mencari kerja atau menjadi pegawai negeri.

DAFTAR  PUSTAKA :
artikel dilematika dunia pendidikan
http://id.wikipedia.org/wiki/Pengangguran

0 komentar:

Posting Komentar